BUDAYA:SEBUAH CITA-CITA DAN MASA DEPAN SUKU PAKPAK
SEBUAH CITA-CITA DAN MASA DEPAN SUKU PAKPAK
Tanoh Pakpak silima suak sebelum penjajahan Belanda merupakan satu kesatuan wilayah. Masyarakat Pakpak memiliki struktur pemerintahan tradisional, terdiri dari tiga kelas (strata),yaitu: Raja Ekuten atau Takal Aur, yang memimpin sebuah suak atau beberapa marga; Pertaki, merupakan pemimpin khususnya kepala kuta atau desa, dan Sulang Silima (5 anggota dewan) yang bertindak sebagai asisten pertaki di setiap kuta dalam proses hukum dan peradatan.
Pemisahan dari suku Pakpak ini terjadi selama masa penjajahan Belanda ketika Tanoh Pakpak akhirnya dibagi menjadi beberapa tempat keresidenan. Tanoh Pakpak yang didiami oleh lima suak marga Pakpak ini sebelumnya dilebur menjadi beberapa pemukiman keresidenan, yakni Kabupaten Tapanuli, Kabupaten Barus, dan Kabupaten Aceh.
Secara administratif, suku Pakpak akhirnya terbagi menjadi lima kerajaan dan dua provinsi yaitu Suak Kelasen terdapat di kabupaten Humbang Hasundutan dan Manduamas tenggara Tapanuli, suku yang dominan Suak Boang berasal dari selatan Aceh dan Singkil, Suak Pegagan terdapat di kabupaten Dairi , Suak Keppas tinggal di kabupaten Dairi dan beberapa di kabupaten Karo tenggara, dan orang Simsim Suak tinggal di kabupaten Pakpak Bharat.
Adanya pembagian administrasi secara otomatis menyebabkan pemisahan suku Pakpak satu sama lain. Rasa persatuan pada umumnya dan suku besar, dari hari ke hari, terkikis baik dalam pemahaman (pelaksanaan adat) dan pemahaman (emosi).
Tak heran, dari lima kamp pengungsian di Pakpak, hanya Simsim yang masih menggunakan bahasa Pakpak sebagai bahasa komunikasi sehari-hari di masyarakat sebagai bahasa pergaulan, sedangkan empat bahasa sisanya terbatas digunakan di rumah. jika ayah dan ibu adalah pakpak, dalam upacara adat dan njahat adat, dan beribadah hanya di gereja GKPPD.
Suak Simsim, tinggal di distrik Pakpak Bharat dengan ibu kota Salak, adalah rumah bagi hampir 60.000 penduduk, delapan subdivisi dan lima puluh dua desa.
Kabupaten Pakpak Bharat dirintis dengan Undangan Nomor 3 Tahun 2003 setelah pemekaran Kabupaten Dairi. Pemerintahan Pakpak Bharat terpecah karena kekhawatiran akan hilangnya adat budaya Pakpak dan bangkitnya suku Pakpak di bangsa etnisnya.
Dimekarkan dengan tujuan menjadi benteng terakhir melestarikan budaya dan suku Pakpak. Kabupaten Pakpak Bharat lahir melalui ketekunan dan inisiatif dari generasi ke generasi Pakpak, yang menyadari bahwa diperlukan upaya nyata untuk melestarikannya.
Generasi muda Pakpak mencintai suku Pakpak, tanah Ulayat, adat dan bahasanya. Pemekaran kabupaten Pakpak Bharat tercapai berkat kerja keras generasi muda Pakpak, solidaritas, tekad dan solidaritas.
Tokoh Pemekaran memiliki cita-cita yang sama untuk memajukan suku mereka melalui mekanisme konstitusional. Nantinya, ketika menjadi sebuah kabupaten, generasi muda Pakpak akan mendapat tempat untuk mengabdi kejayaan Tanoh Pakpak sebagai pemimpin dan pejabat yang secara sadar membangun tanah airnya berdasarkan ciri-ciri luhur budaya dan adat Pakistan.
Otonomi daerah sangat penting untuk menjadikan Tanoh Pakpak sebagai bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Faktanya, distrik Pakpak Bharat adalah rumah bagi suku Pakpak, yang kaya akan tradisi, dengan gaya budaya lokal yang unik dan intelektual. Budaya dan adat istiadat memiliki ciri khas tersendiri yang sangat berbeda dengan adat suku-suku di sekitarnya.
Membawa nilai-nilai spiritual yang indah, yang diturunkan secara turun-temurun oleh nenek moyang mereka sehingga mereka dapat tumbuh dan menemukan nilai-nilai misterius suku Pakpak.
Saat ini di kabupaten Pakpak Bharat, suku Pakpak memiliki total populasi 90ri. Kabupaten Dairi hanya 30% penduduknya yang beretnis Pakpak. Bahkan di kabupaten Humbang Hasundutan, Manduamas, Singkil, Subulusalam dan Aceh Selatan, tidak ada data yang valid mengenai tarif Pakpak di daerah-daerah tersebut.
Ini juga merupakan indikasi yang sangat jelas bahwa cara bahasa digunakan dan adat istiadat yang digunakan juga berkorelasi langsung dengan persentase orang Pakpak di daerah tersebut. Bisa dikatakan, di beberapa daerah tempat tinggal suku pakpak, mereka sudah melupakan kebiasaan menggunakan bahasa dan adat istiadat suku pakpak dan kini beralih ke adat masyarakat pendatang.
Yang lebih memprihatinkan adalah bahwa di beberapa daerah dilaporkan bahwa meskipun marga Pakpak lain menggunakan adat imigrasi untuk menyelenggarakan upacara perkawinan dan pemakaman, karena lebih mudah, sederhana dan lebih menguntungkan.
Situasi serupa terjadi di banyak daerah di luar negeri, di mana suku Pakpak memiliki komunitas. Karakteristik individu yang mudah beradaptasi dan asosiasi yang membutuhkan dukungan orang lain telah menyebabkan banyak Pakpak memindahkan klan mereka ke klan lain, yang sering dilakukan melalui kelompok klan Toba versi.
Tarombo raja Batak yang diciptakan oleh WH Hutagalung pada tahun 1926 menjadi acuan bagi banyak Pakpak untuk pindah agama bahkan mengganti marga mereka dengan marga Toba.
Kurangnya kepercayaan di antara beberapa Pakpak berasal dari kurangnya silsilah asal-usul dan sejarah, termasuk Tarombo dari suku Pakpak.
Hal ini justru menjadi kendala sekaligus alasan bagi klaim dan pengakuan kelompok marga seperti Si Raja Oloan, Parna, Naimarata, Borsak dan lain-lain.
Pertanyaan “ras yang mana” adalah pertanyaan yang sering ditanyakan oleh orang Toba kepada orang Pakpak. Atau pertanyaan "Ras apa ini?" untuk klan yang kurang familiar dengan telinga mereka.
Karena mereka selalu mendapat pertanyaan seperti ini daripada repot-repot menjawabnya, beberapa Pakpak memilih untuk berpindah klan agar tidak selalu menjadi pertanyaan.
Faktor lain adalah bahwa pertemuan di luar negeri diperlukan untuk pertemuan sosial, pernikahan, pemakaman, dan acara lain yang membutuhkan kedatangan banyak orang, sementara Pakpak di daerah itu masih sedikit.
Biasanya orang Pakpak bergabung dengan afiliasi Batak, menugaskan klan mereka ke klan Toba, beberapa bahkan mengubah klan.
Dengan kebiasaan-kebiasaan yang permanen, hasilnya adalah rasa keakraban yang lebih besar dengan adat budaya Batak dan menjadi bagian dari orang Batak.
Dari faktor kebahasaan juga terlihat bahwa orang Pakpak cenderung bisa dan mudah fasih berbahasa selain Pakpak.
Perkawinan campuran di mana ayah Pakpak dan ibu dari kelompok etnis lain menyebabkan bahasa ibu diucapkan. Bahasa asli yang digunakan biasanya Toba dan Karo, dan hampir semua orang Pakpak bisa berbicara keduanya.
Misalnya, jika di sebuah kedai kopi, ada empat Pakpak yang berbicara Pakpak dan kemudian satu yang berbicara Toba, maka kelimanya akan langsung berbicara Toba. Bahkan, tidak jarang orang Pakpak lain menggunakan bahasa Toba sebagai bahasa pergaulan sehari-hari.
Penurunan penggunaan bahasa Pakpak dari remaja hingga dewasa dan orang tua juga otomatis berdampak pada anak-anak. Bahkan di Kabupaten Pakpak Bharat, anak-anak PAUD di SMA menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa sehari-hari.
Jangan tanya di pengungsian lain, pengetahuan bahasa pakpak sudah mengkhawatirkan. Tidak mengherankan, hasil studi UNESCO menempatkan bahasa Pakpak di antara bahasa yang tidak aman dan terancam punah.
Kekhawatiran ini menjadi peringatan serius dan lonceng kematian bagi budaya dan bahasa Pakpak. Orang Pakpak sendiri juga sangat menghargai dan peduli dengan identitasnya, mau menjaga dengan tetap melestarikan budaya dan bahasanya agar tidak terjadi kajian UNESCO.
Pelestarian budaya dan bahasa adalah perjuangan mempertahankan identitas suku Pakpak. Sangat penting untuk melakukan ini sebelum terlambat dan kerusakan budaya dan bahasa sudah parah.
Apatis dan apatis adalah musuh utama pelestarian ini.
Konservasi terarah adalah upaya sistematis dan berkelanjutan yang harus dilakukan oleh semua pihak untuk melaksanakan tugas konservasi di bidangnya masing-masing.
. Asal-usul, adat istiadat dan artefak budaya yang ditemukan di Tanoh Pakpak adalah kebenaran sejati akan kejayaan dan ketenaran peradaban Pakpak kuno.
Mengingat adanya bukti penelitian yang sahih secara ilmiah, tidak ada keraguan tentang sejarah dan asal usulnya, karena kepercayaan yang didasarkan pada penelitian ilmiah tentu sangat penting dalam mengidentifikasi identitas seseorang dan identitasnya.
Penelitian ilmiah juga menguatkan keyakinan bahwa perlunya mengembalikan kejayaan Tanoh Pakpak, karena ternyata Kapur Barus dan Kemenyan merupakan tanaman endemik yang dapat diusahakan untuk menjadi kelas tinggi yang sama seperti dulu.
Masalah utama dalam mempertahankan identitas suku Pakpak sebenarnya adalah kurangnya pemahaman tentang apa itu budaya Pakpak.
Selain ketidaktahuan, hal lainnya adalah kebanyakan orang Pakpak tidak mengetahui dan tidak menyadari bahwa apa yang mereka miliki adalah sesuatu yang sangat berharga dan sangat berharga seperti sebuah peradaban.
Hal ini disebabkan kurangnya sosialisasi dan apresiasi budaya.
Ketika sosialisasi dan penghargaan tidak dilakukan, yang tersisa adalah artefak usang yang tidak dirawat, adat istiadat yang tidak ditanggapi dengan serius, keheningan tentang makna ritual, tradisi dengan dalih bertentangan dengan agama dan kehilangan rasa hormat terhadap leluhur . segala peraturan perundang-undangan sebagai sumber moralitas dan etika dalam masyarakat.
Dengan penjelasan di atas, tidak mengherankan jika peradaban dan budaya Pakpak semakin hilang dan hilang. Matikan.
Secara umum, tentu saja, sebuah suku memiliki caranya sendiri untuk mempertahankan keberadaannya dan melawan serbuan waktu. Ketika era baru tiba, budaya yang sudah ada akan lebih mungkin diperbaiki, bukan membuang budaya yang sudah ada.
Pakpak membawa di dalamnya budaya luhur dengan filosofi tinggi yang menyandang warna jiwa suku. Semua lapisan masyarakat memiliki kewajiban untuk bekerja sama untuk mencapai cita-cita Pakpak Nduma (kemakmuran) sebagai tujuan bersama yang harus diperjuangkan.
Keberadaan lembaga-lembaga sosial yang sah yang menopang filosofi suku Pakpak penting dalam konteks kebangkitan.
Sulang Silima sebagai organisasi kemasyarakatan secara formal dilembagakan dengan akta. Lembaga sulang silima sering dibuat oleh marga maupun oleh lebbuh (tempat tinggal marga).
Sulang silima dengan sendirinya memposisikan seseorang dalam tatanan sosial sehingga dalam struktur adat ia benar-benar mempunyai kedudukan yang jelas dan sah sebagai anggota masyarakat.
Posisi ini juga dapat menentukan peran, tugas dan tanggung jawab dalam klan.
Dengan demikian, strukturnya jelas bagi semua orang dalam hal pribadi, keluarga dan seterusnya. Dengan kata lain, dengan Sulang Silima, seseorang menjadi pribadi yang berarti.
Lebbuh mewakili marga-marga di suatu daerah memiliki arti yang sangat penting, karena hanya marga asli yang memiliki tanah ulayat (situkak rube), sedangkan marga-marga lainnya adalah pendatang yang sering mengambil alih tanah tersebut.
Dengan pemilik tanah ulayat dalam posisi yang begitu kuat, klan asli ditambahkan serta kepala daerah.
Dari struktur tradisional pemerintahan Pakpak sebelum datangnya imperialisme Belanda, jelas bahwa struktur ini milik Raja Ekuten atau Takal Aur, kepala sebuah suak atau beberapa marga; Pertaki adalah kepala lebbuh atau desa, dan Sulang Silima (dewan yang beranggotakan 5 orang) bertindak sebagai asisten pertaki untuk setiap lebbuh.
Dan dengan bentuk kepemimpinan ini terbukti bahwa Tanoh Pakpak berhasil dan naik yang dibuktikan dengan artefak meja yang ditemukan di masing-masing lebbuh Aur Pakpak silima suak.
Bahkan, selain pemimpin yang berwujud, memiliki sifat spiritual juga sangat membantu dalam memimpin. Bersamaan Takal Aur dan Raja Ekuten, ia menjadi Nangguru.
Nangguru adalah bentuk spiritualitas yang tidak dapat dilihat tetapi sangat dirasakan sebagai ruh yang mewarnai sejarah panjang perjalanan suku Pakpak.
Roh leluhur adalah kebutuhan dalam tradisi dan budaya Pakpak masa lalu. Sebagai umat beragama, seringkali mereka beranggapan bahwa arwah leluhur adalah makhluk mistis yang harus dijauhi dari kehidupan, padahal makna mistik arwah leluhur sangat berbeda dengan makna setan, jin, setan, dan hantu.
Roh Leluhur adalah manifestasi dari Debata Kase Kase, Penguasa Dunia. Oleh karena itu, perlu menghormati alam, dengan ritual budaya menjadi sarana berkomunikasi pada frekuensi yang sama dengan alam semesta, sehingga jika ada bahaya, kerusakan, penyakit, bencana alam, dapat dihindari dengan selalu bersikap hormat. alam.
Tapi hari ini, sebagian besar anggota suku Pakpak tidak menghormati roh leluhur. Karena merupakan daerah pertanian, maka sangat perlu dekat dengan alam untuk dapat mengetahui fenomena perubahan iklim dan musim dalam setahun.
Hal ini sangat penting untuk menghindari kerugian bagi petani saat musim panen tiba. Seringkali hasil panen gagal, harga turun, dan hama menyerang dengan ganas karena tanaman tidak cocok untuk musim dan cuaca setempat.
Meskipun kearifan lokal suku Pakpak telah menyelesaikan masalah ini, yaitu dengan mengadakan upacara untuk menandai tahun tersebut. Sesajen akhir tahun merupakan upacara yang dilakukan dengan ritual untuk menentukan musim tanam, tanaman apa yang akan ditanam dan berhasil, hama dan penyakit apa yang harus diwaspadai, dan cara penanganannya.
Hari yang menandai satu tahun juga ditandai dengan tidak diperbolehkannya Rebbu (nyepi) keluar rumah, menyalakan api, dan memetik daun-daunan hijau. Diharapkan masyarakat berdoa memohon berkah Debata Kasasse dari Penguasa Dunia, agar dipenuhi berkah.
Ikon situs dukut mberras (rumput layu saat padi matang dan panen melimpah).
Begitu banyak ritual yang terabaikan sehingga Budaya Pakpak kehilangan rasa nilai-nilai luhur dan falsafah sebuah peradaban.
Ini adalah status quo sejarah suku Pakpak. Hilangnya makna luhur ini pada akhirnya mempengaruhi jati diri dan lemahnya identitas suku Pakpak.
Perjuangan menentukan jati diri suku pakpak memang merupakan perjalanan yang panjang dan melelahkan, namun mengetahui dan memahami secara jelas dan utuh fakta-fakta ilmiah tentang keberadaan artefak dan hasil galian arkeologi masih ada hingga saat ini, semoga dapat meningkatkan kesadaran akan Masyarakat Pakpak untuk berpartisipasi dalam pelestarian, promosi dan pengembangannya.
DPP IMAPI Jakarta memimpin kebangkitan ini bersama Sapo Jojong Silima Suak di TMII dalam berbagai cara dan kegiatan. Salah satunya akan segera menerbitkan buku “Jejak Sejarah & Tata Cara 56 Upacara dan Ritual Adat Pakpak”.
Selanjutnya, rencana provinsi Pakpak Raya adalah cita-cita dan masa depan yang benar-benar layak kita perjuangkan untuk kelangsungan hidup suku dan budaya Pakpak.
lias ate
njuah-njuah banta karina
oleh: Anna Martyna Sinamo