Berbeda dengan kerajaan Barus, desa-desa selanjutnya dibangun menggunakan bahan-bahan yang ada di daerah Kacang Langge, seperti; kayu, bambu, serat dan rotan, karena tidak ada tanah liat yang dapat ditemukan untuk membuat batu bata. Oleh karena itu, dalam Tanoh Pakpak tidak ditemukan arca seperti pada karya Barus.
Kayu ulin dan tembesi besar digunakan untuk tiang, kemudian meranti merah untuk dinding seluruhnya diikat dan diikat dengan rotan tanpa bagian besi untuk paku. Saat itulah yang kita kenal sekarang sebagai Sapo Jojong.Mereka tidak membangun candi karena tidak banyak batu dan tanah liat di sana, tetapi mereka membuat patung, seperti gajah, kuda, dan harimau, yang disebut Mejan, terbuat dari Lae besar (batu sungai). Mejan-mejan ini merupakan tanda bahwa mereka berasal dari keluarga kerajaan Barus dan beragama Hindu, yang disebut Permenna dalam bahasa Pakpak, dan juga berfungsi sebagai pertahanan terhadap ancaman perang yang terlihat atau tidak.
Kerajaan Kacang Langge kemudian mengubah jalur perdagangannya ke utara menjadi kerajaan Budha Pedir Aceh (sekarang kabupaten Pidie) dan ke kerajaan Sumatera Timur (wilayah Pangkalan Brandan, sekarang Sawit Sebrang) menurut agama Hindu, karena pelabuhan Barus diperintah oleh penguasa muslim.
Cara terbaik untuk membalas kekalahan dalam perang Kerajaan Baru yang mengalahkan Raja Malim dan menantunya adalah dengan menghentikan perdagangan kapur barus dan kemenyan ke distrik pemerintah negara bagian Fansur.
Hilangnya pasokan kapur barus dan kemenyan di Barus menyebabkan penurunan aktivitas komersial sebagai kota perdagangan di Negara Bagian Fansur. Sementara itu, di kerajaan Pea Langge, kepala suku yang dipilih adalah keturunan Kerajaan Baru atau Siraja Uti I. Raja Uti I sangat disegani oleh rakyat karena membawa kemajuan dan keberhasilan dalam mengurus semua pranata sosial, budaya dan adat istiadat serta membangun peradaban. Inilah sebabnya mengapa Raja Uti I juga dikenal sebagai Raja Mangalambung. Mangalambung secara harfiah selain sebagai Raja Malim (Hindu Permalim), ia juga menjabat sebagai Sirajai Jelma di antara rakyatnya ketika tidak ada raja baru yang terpilih.Raja Uti I membalikkan berdirinya kerajaan Kacang Langge yang diperintah oleh Raja Malim Mutya Raja (Raja Uti I / Raja Mungkur). Tatanan dan upacara-upacara sosial Mende dan kerja kriminal diorganisasikan menjadi suatu pranata sosial yang kemudian menjadi cikal bakal budaya Pakpak, sehingga pada masa itu adat budaya berkembang dengan baik.
Di kerajaan Kacang Langge, asal usul suku Pakpak mulai dicatat sebagai bentuk peradaban.Raja Mungkur selalu menggunakan Rimo Mungkur / jeruk dalam upacara keagamaan untuk mencari berkah para dewa (Debata KaseKase) yang dikombinasikan dengan air bersih dalam mangkuk, daun sirih dan pembakar dupa (kemenjen) dan Ritual seperti ini masih diwariskan oleh orang Pakpak sampai sekarang sebagai budaya nenek moyang mereka.
Kerajaan Pea Langge juga menganut sistem pemerintahan turun-temurun (dinasti) yaitu Raja Malim, Mutya Raja (Raja Uti I) digantikan oleh Raja Malim (Raja Uti II), Raja Uti II digantikan oleh Raja Malim (Raja Uti) III, Raja Malim III digantikan oleh Raja Malim (Raja Uti IV). Pada masa pemerintahan Raja Malim (Raja Uti IV), Mpung Bada, salah seorang pangeran Empu Hyang, diangkat menjadi raja (kelima) kerajaan Kacang Langge. Mpu Bada adalah pemimpin pasukan perang untuk menjaga dan mempertahankan kedaulatan kerajaan, dengan pasukan gajah dan pasukan kavaleri.Namberru Suari, menikah dengan Putra Mahkota Negara Barus, diangkat sebagai Penasehat Kerajaan yang dikenal sebagai Nangguru (Simpantas niase singeddang radumen), seorang guru, maha guru, syang guru yang memberi nasihat atau bimbingan harus dipatuhi karena dia memiliki ilmu gaib.
Pada abad ke-13 (1345 M) pada masa pemerintahan Raja Malim (Raja Uti IV), kerajaan Pea Langge kembali diserang oleh kerajaan Negeri Fansur dari Barus karena kamper dan gaharu Tanoh Pakpak sudah tidak ada lagi. tapi lewat Singkil, Pidie dan Sumatera Timur. Apalagi aliran Islam menjadi salah satu penyebab penyerangan tersebut, karena menurut sejarah masuknya Islam ke Tanoh Pakpak terjadi pada abad ke-13 (1345 M). Perang ini telah memakan banyak korban dan dalam waktu yang sangat lama. Perang ini disebut Graha, karena terjadi antar desa dan antar lebbuh. Beberapa akhirnya pergi ke Kerajaan Fansur dan masuk Islam.
Bukti bahwa Islam adalah agama beberapa orang Pakpak dapat dilihat di sebuah makam kuno di desa Mahala, Tinada, dengan tulisan Arab Gundul yang berasal dari tahun 1300-an.Namberru Suari sendiri tetap dalam agama abadi yang dia ikuti dan menjadi penasehat utama bagi anak, keponakan dan cucunya yang menjadi raja, inilah ilmu utama kinangguruen namberru suari yaitu menjadi penasehat dan sosok spiritual yang dikenal dengan nangguru. Sebagai penasihat utama kerajaan Pea Langge, peran Namberru Suari sangat penting dalam persiapan dan pengangkatan penguasa dan raja masa depan. Raja-raja pada waktu itu bukanlah raja dengan istana atau kerajaan seperti yang kita pahami sekarang. Raja yang menjadi kepala dalam bahasa Pakpak disebut Raja Aur.
Pada masa ini, sejarah mencatat kemunculan senjata api dari abad ke-9 hingga ke-14 M yang ditemukan oleh orang Cina. Pistol ini menggunakan bubuk mesiu dan dikembangkan oleh Al-Rahmah (Arab). Namberru Suari menyaksikan kemunculan senjata ini dan digunakan dalam peperangan di kerajaan Pea Langge pada waktu itu. Bubuk mesiu dan senjata diperoleh oleh orang Melayu Pagaruyung dan saudagar Muslim dari Arab dan dibantu oleh kerajaan besar Aceh. Mendegar suara ledakan dari Bubuk mesiu dan pistol yang berpeluru timah bulat ini, banyak sekali pasukan dari Mpung Bada yang merasa ketakutan, demikian juga armada perang yang meggunakan Gajah dan kuda banyak yang lari ketakutan karena tekejut oleh ledakan mesiu.