PERAN PEREMPUAN DALAM ADAT & BUDAYA PAKPAK

Peran Perempuan Dalam Adat dan Budaya Pakpak

Oleh Anna Martyna Sinamo

Pernahkan membayangkan apa peran utama seorang perempuan dalam masyarakat? Apakah yang terjadi apabila perempuan tercerabut dari akar budayanya? Siapakah yang terutama menurunkan sifat dasar dalam satu keluarga? 
Diskusi siang ini dengan tokoh adat Marga Solin yaitu Puhun Atur Pandapotan Solin, ditemukan sebuah ironi yang sangat menghawatirkan tentang peran perempuan dalam masyarakat adat di Suku Pakpak.
Seperti diketahui Suku Pakpak menganut sistem patrilineal dalam struktur masyarakatnya, peran laki-laki dominan dalam pengambilan keputusan dalam setiap sendi kehidupan masyarakat.
Tetapi walaupun patrilineal, sebenarnya dalam sistem masyarakat Pakpak Sulang Silima, peran perempuan sebetulnya ada dalam posisi yang kuat, karena Sulang Silima menjamin bahwa hak perempuan memiliki kekuatan hukum yang sah dalam tata masyarakat sosial (contoh: Rading Berru, yaitu kepemilikan tanah yang diakui sama dengan kepemilikan tanah Situkak Rube, artinya apabila sudah menjadi Tanah Rading Berru, maka tanah itu sah secara hukum adat dan tidak boleh di ganggu gugat lagi).
Yang menjadi masalah dalam perkembangannya sekarang adalah perempuan Pakpak seringkali tidak mau belajar tentang adat istiadat dan budaya Pakpak karena merasa bahwa itu ranah laki-laki. Padahal dalam praktek sehari-hari yang sering menghadiri pesta (kerja mende & kerja njahat) adalah perempuan.
Mereka melakukan tapi tidak memahami secara jelas dan dalam apa makna yang dilakukan.
“Nah, inang mo mi pesta-pesta tapi oda i antusi kade ngo upah turang, togoh-togoh, penampati, pertadoan persinabuli, perkaing,” adat i laksanakan tapi oda iantusi maseh poda ate......
Tidak bisa juga disalahkan para “inang” tersebut, karena sebenarnya tidak ada yang mengajari secara formal melalui sebuah metode pembelajaran yang baku, hanya mengikuti dan menjalani saja tanpa sempat memahami, mengerti dan memaknainya.
Seperti sebuah kebiasaan saja turun temurun, padahal peran perempuan dalam menentukan sebuah adat dan budaya tetap lestari ada di bahu perempuan.
Perempuan yang memastikan apakah bahasa ibu (kata Pakpak) yang di pakai di rumah, menentukan makanan apa yang disajikan di rumah sehari-hari dan acara adat (pelleng & ginaru) , pakaian apa yang dipakai baju merapi-api (baju adat) ataukah berbaju gamis atau kebaya.
Keluarga yang peran ibunya berwarna Pakpak, akan menghasilkan anak-anak yang berbahasa, berjiwa, beridentitas dan juga memiliki jati diri Pakpak.
Lalu kita yang ingin agar budaya dan suku Pakpak lestari, mulailah dengan mendidik dan melatih para “Inang Pakpak” menjadi perempuan Pakpak yang mengerti, memahami dan bangga menjadi inang Pakpak sejati.
Wahai perempuan Pakpak, mari mengambil peran itu dimulai dari rumah, dan ikutlah berpartisipasi dalam bentuk-bentuk kebudayaan yang ada di luar rumah, agar kualitas perempuan Pakpak maju dalam adat istiadat dan budaya. Ditangan perempuan Pakpak, keberlangsungan suku dan budaya Pakpak akan lestari.