IBU MEGAWATI, PRESIDEN PEREMPUAN PERTAMA INDONESIA YANG BERPENGARUH MEMBAWA INSPIRASI BAGI GENERASI ANAK MUDA BANGSA
IBU MEGAWATI, PRESIDEN PEREMPUAN PERTAMA INDONESIA
YANG BERPENGARUH MEMBAWA INSPIRASI BAGI
GENERASI ANAK MUDA BANGSA
Foto ketika Ibu Megawati dengan ayahnya sendiri yaitu bapak Presiden RI pertama
Saya
terispirasi dengan Ibu Megawati dari sejak saya kecil. Ibu saya pernah berkata
kalau mau cari istri harus seperti Bu Mega walau anak Presiden Sukarno tetapi
kepribadiaanya tidak berlebihan layaknya putri mahkota di kerajaan tetapi
sederhana dan cinta masyarakat. Jika masyaratkat saja dicintai apalagi kamu dan
anak-anakmu. Begitulah kira-kira yang dikatakan oleh Ibu saya dulu. Sejak saat
itu dari saya kecil sampai dengan menjadi mahasiswa seperti sekarang ini, saya
selalu menjadikan Ibu Megawati sebagai inspirasi saya. Saya bisa bilang bahwa
Ibu Megawati adalah cerminan dari seluruh ibu-ibu yang ada di Indonesia ini.
Jadi seperti saya ketahui bahwa Ibu Megawati menjadi orang yang terpandang
sekaligus memiliki beban di pundaknya karena beliau dilahirkan sebagai putri
pertama Bapak Pendiri Indonesia, Presiden Sukarno, yang memimpin kemerdekaan
negaranya dan kemudian menjadi presiden pertama negara mayoritas Muslim
terbesar di dunia pada tahun 1945.
Orang
hanya bisa membayangkan beban hatinya melihat ayahnya sendiri dengan enggan
mengundurkan diri pada tahun 1965, sebuah langkah yang dihasut oleh seorang
pria yang pernah dipercaya oleh ayahnya sendiri, dan, kemudian, menyaksikan
ayahnya dipenjara di Istana Bogor selama tiga tahun yang panjang dan
menyedihkan sampai kematiannya. Dalam paradoks yang malang ini, pria yang
membebaskan negaranya dari belenggu kolonial Belanda menjadi tawanan di
perumahan. Dia adalah perempuan bagai pelari estafet yang melanjutkan warisan
ayahnya. Nama akhirnya “Sukarnoputri” secara harfiah berarti "Putri
Sukarno". Tetapi Megawati lebih dari sekadar nama keturunan kepresidenan
tercinta yang diintervensi dan diakhiri oleh kekuatan pemerintahan keras
selayaknya seorang pemimpin militer. Lebih penting lagi, dia, oleh takdir dan
oleh keributan rakyat, kekuasaan demokrasi terputus. Tumbuh dengan beban masa
lalu baik itu kemenangan maupun tragis. Beban terasa semakin berat melihat masa
depan negaranya benar-benar jatuh di pundaknya selama salah satu masanya yang
paling kacau.
Ibunya
adalah Ibu Negara Indonesia pertama, Fatmawati. Wanita yang menikah dengan
calon presiden ketika dia berusia dua puluh tahun dan melahirkan satu lagi
empat tahun kemudian memiliki warisan yang membanggakan dan agung sendiri,
garis keturunannya dapat ditelusuri di kesultanan Sumatera. Bendera yang kita
kenal dengan bendera Merah Putih yang dahulu dikibarkan saat negara terpadat
keempat di dunia itu memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945 bahwasanya
dijahit oleh Fatmawati. Pada tahun 1980, setelah menjanda selama satu dekade,
Fatmawati meninggal pada usia 57 tahun, meninggalkan lima anak.
Kematian
daripada Fatmawati merupakan pukulan telak bagi Megawati yang saat itu berusia
33 tahun terutama setelah menjadi yatim piatu dari seorang ayah yang dipujanya
dan janda dari suami pilotnya yang dia cintai. Musuh bebuyutan ayahnya memiliki
cengkeraman kuat pada kekuatan politik dan pemerintah otoriter tidak memiliki
toleransi terhadap perbedaan pendapat. Jenderal Soeharto adalah Kepala Staf
Sukarno dan pesannya jelas: jika Soeharto dapat menganiaya mantan panglima
tertingginya dan yang lebih penting, presiden pendiri negara itu maka tidak ada
yang akan terhindar dari cengkeraman tangan besinya.
Seperti
kebanyakan anak-anak pemimpin dunia yang telah lama mengabdi, Megawati
dibesarkan di kediaman resmi presiden. Istana Merdeka di Jakarta adalah rumah
selama masa kecil dan masa mudanya. Dia masih balita ketika ayahnya menjadi
presiden. Sebagai orang dewasa muda, dia hampir berada di bawah tahanan rumah
juga selama tiga tahun. Tetapi dalam kasusnya, itu sukarela karena putri yang
berbakti menghabiskan banyak waktu dengan ayahnya selama banyak hari yang gelap
dan tidak pasti yang paling dia butuhkan. Megawati meninggalkan perguruan
tinggi untuk bersama ayahnya yang sakit. Sampai dia menjadi wakil presiden
lebih dari tiga dekade sejak penggulingan ayahnya, sebagian besar kehidupan
dewasanya dihabiskan di lingkungan yang lebih sederhana, dan dalam keadaan yang
jauh lebih sulit.
Transisi
dari Sukarno ke Soeharto menyaksikan beberapa episode kekerasan terburuk di
abad ke-20, yang peristiwanya didramatisasi dalam film "The Year of Living Dangerously". Pada 1 Oktober 1965,
percobaan kudeta terjadi di Jakarta, yang konsekuensinya mengubah kehidupan
nasional di Indonesia," demikian menurut Australian Institute of International Affairs (2015). "Hasil
langsung dari keruntuhannya yang cepat adalah perubahan keseimbangan kekuasaan
dalam politik Indonesia, pembersihan Partai Komunis dan kematian ratusan ribu
orang Indonesia." Sri Harsono, teman lamanya yang pernah mengatakan bahwa
Megawati tidak pernah ingin menjadi presiden, menceritakan, "Karena
Soeharto, dia tidak bisa menyelesaikan kuliahnya. Tidak ada anak-anak Sukarno
yang diizinkan kuliah. Mereka tidak punya uang, tidak punya pendidikan, tidak
punya pekerjaan. Keluarga itu sangat miskin saat itu". Hanya setelah dia
menikah dengan Taufiq Kiemas, dia bisa tinggal di lingkungan yang dijaga dan
dijaga ketat Sebagai Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat satu kali setelah
istrinya menjadi presiden, ia mendorong Megawati untuk memperebutkan kursi
parlemen meskipun keluarganya tidak menyukai politik saat Soeharto berkuasa
(McDonalds, 1999).
Saudara
laki-lakinya Guntur, mantan anggota parlemen, menegaskan, "Kami tidak
dipotong untuk politik. Mega-lah yang memiliki daya tahan dan dia punya nyali dan
kasih sayang. Pada tahun 1979, bersama dengan teman-temannya termasuk Harsono,
ia membuka toko bunga yang melayani hotel-hotel kelas atas dan hasilnya
digunakan untuk mendukung taman kanak-kanak bagi anak-anak miskin (Mcdonald,
1999). Terlepas dari situasi uangnya yang terbebani, dia mencurahkan waktu,
tenaga, dan uang untuk rakyat negaranya, yang mayoritas miskin. Meskipun
menjadi putri presiden, dia memiliki reputasi untuk kesederhanaan dan kehidupan
sederhana. Persona publik ini menambah daya tariknya di kemudian hari, ketika
dia akan menarik beberapa kerumunan dan demonstrasi terbesar dalam sejarah
Indonesia. Selain itu, filantropi tulus dan welas asih alami bagi mereka yang
kurang beruntung, tidak peduli seberapa sederhananya, yang akan membantu
mendefinisikan kepresidenannya.
Pada
tahun 1987, pada usia 40 tahun, ia memenangkan kursi di parlemen dan bergabung
dengan oposisi terhadap otoritarianisme Soeharto yang berkelanjutan. Dia
berhasil mencalonkan diri sebagai calon dari Partai Demokrasi Indonesia
(PDI-P), kemudian menjadi pemimpinnya pada tahun 1993. PDI-P, perpaduan
partai-partai nasionalis Kristen dan sekuler, berkomitmen pada Pancasila,
iterasi pertama yang diberikan oleh Sukarno dimana pancasila mencerminkan
nasionalisme, kemanusiaan dan internasionalisme Indonesia, demokrasi, keadilan
sosial dan kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dan PDIP menganggap hal ini
sebagai kekuatan pemersatu Indonesia, selalu berada di garis depan dalam
mendukung keberagaman di negara yang beragam secara sosial, budaya, ekonomi,
etnis dan geografis (Council of Asian
Liberals and Democrats, n.d.). Pada tahun 2009, PDI-P menjadi anggota penuh
CALD setelah menjadi pengamat selama beberapa tahun.
Soeharto
tidak berbeda dengan banyak diktator di wilayah era itu seperti Ferdinand
Marcos, Chiang Kai Shek dan Park Chung-Hee. Mereka adalah orang-orang kuat yang
memegang cengkeraman erat dengan meneror warganya dengan militer sebagai
institusi utama untuk mengemban tugas tersebut. Dan seperti halnya dengan Marcos,
pasti sangat tidak menyenangkan bagi Soeharto untuk memiliki seorang wanita
sebagai ancaman terbesar bagi kekuasaan absolut. Dan seperti banyak diktator di
Asia dan sekitarnya, pemerintahannya berakhir dengan drama yang luar biasa.
Pada
tahun 1996, pendukung Soeharto menyerang markas PDIP dan hasil huru-hara dalam
lima kematian dan banyak luka-luka. Krisis ekonomi di Indonesia diperparah
dengan gejolak politik. Ini adalah titik balik dan Megawati menjadi titik temu
bagi Reformasi, revolusi demokratis yang mengakhiri 22 tahun pemerintahan
otoriter Soeharto dua tahun kemudian. Selain Corazon Aquino dari Filipina,
perbandingan dengan Perdana Menteri Pakistan Benazir Bhutto menjadi tak
terelakkan.
Pada
bulan Mei 2000, Council of Asian Liberals & Democrats (CALD) mengadakan
penganugerahan besar yang berfokus pada tema "Transisi Demokrasi di
Asia" di Jakarta. Konferensi ditunda beberapa kali karena ketidakpastian
politik, termasuk kerusuhan, yang terjadi di ibu kota dan daerah lain di
Indonesia. Tetapi CALD bersikeras bahwa tidak mungkin ada tempat lain kecuali
di Indonesia di mana transisi sejarah seperti itu benar-benar terjadi.
Konferensi ini menghasilkan penerbitan buku dengan menggunakan tema konferensi
sebagai judulnya. "Seruan untuk kebebasan dan reformasi bergema di seluruh
penjuru benua. Di Demokrasi, Reformasi, Doi Moi, People Power atau dengan nama
lain, kita menyaksikan democ- racy di wilayah ini," kata Ketua CALD saat
itu, Sam Riansy, MP, dalam buku tersebut. "Apakah terguncang dari sejarah panjang
dominasi asing atau tirani dalam negeri, kehendak rakyat membuat demokrasi di
Asia tidak hanya mungkin tetapi pada akhirnya tak terhindarkan. Banyak suara,
disatukan oleh cita-cita bersama, satu dalam semangat manusia" (Johannen
& Gomez, 2001).
Jusuf
Wanandi, seorang ilmuwan politik Indonesia terkemuka, mengamati, "Dia
memiliki karisma yang dia dapatkan dari ayahnya. Megawati luar biasa dengan
keramaian. Pada rapat umum di Jakarta, kerumunannya 200.000, sangat gaduh
seperti biasanya, dan dia menyuruh mereka untuk diam dan duduk. Dan mereka
melakukannya! Saya belum pernah melihat orang lain mampu melakukan itu kecuali
ayahnya. Berbeda dengan Cory Aquino, Megawati tidak muncul sebagai presiden
sebagai akibat langsung dari pemulihan demokrasi. Dia menduduki jabatan
tertinggi kedua di negeri itu selama masa kepresidenan Abduraman Wahid yang
juga dikenal sebagai Gus Dur. Wahid, yang menjadi anggota individu CALD pada
tahun 2009, milik partai lain—PKB, partai anggota CALD lainnya sejak 2016.
Diwawancarai
Keith Richburg (1999) dari Washington Post, Megawati menegaskan mandatnya untuk
memimpin negara mengingat kinerja partainya dalam pemilu Indonesia 1999,
mendapatkan suara dua kali lebih banyak dari juara kedua, GOLKAR, partai dari
dua presiden terakhir, Soeharto dan Habibie. PDI-P tidak mendapatkan cukup
suara untuk mayoritas langsung dan jenis kelaminnya dipandang sebagai batu
sandungan terbesar dari asumsi jabatan publik tertinggi. Dalam wawancara
selanjutnya dengan jurnalis Washington Post yang sama, Gus Dur menjelaskan
dilema Megawati yang menjabat sebagai presiden: "Jika kita menolak
Megawati sebagai presiden, maka akan ada kerusuhan, karena pengikutnya sangat
kasar. Mereka dapat melakukan hal-hal buruk. Tetapi jika kita mengambilnya,
kaum kanan Muslim juga sangat kasar. Akan ada kerusuhan juga." Dengan
kemanfaatan melihat ke belakang, Megawati harus diberi penghargaan karena tidak
menghasut pendukungnya untuk berunjuk rasa sebagai protes (Richburg, 1999).
Seperti
yang pernah dia katakan, sekali lagi kepada Washington Post, "Dalam budaya
kita, tidak hanya ada pemimpin formal. Ada juga pemimpin informal. Terkadang
pemimpin informal bisa lebih kuat daripada pemimpin formal. Anda dapat melihat
bagaimana ayah saya, meskipun dia sudah meninggal, dalam semangat masih hidup di
dalam masyarakat Indonesia" Tiga tahun kemudian, pemimpin informal itu
mengambil sumpahnya sebagai pemimpin formal juga ketika dia dilantik sebagai
Presiden Kelima Indonesia. Bagi Megawati, ketangguhan tidak mengejutkan. Dia
kehilangan ayahnya selama titik terendah keluarga Sukarno, dan dia kehilangan
seorang suami saat dia hamil. "Megawati menstabilkan negara dan mengawasi
jalannya menuju demokrasi," kata Dewi Fortuna Anwar, mantan penasihat BJ
Habibie, yang menjabat sebentar sebagai presiden setelah Soeharto. "Itu
bukan prestasi yang berarti." Dia juga telah dikreditkan karena
meningkatkan keamanan di provinsi-provinsi sev- eral yang pernah dilanda
kekerasan agama dan etnis (The New York Times, 2004).
Putri
bapak pendiri Indonesia ini juga menghadiri kelahiran bangsa lain: Timor Leste.
Kehadirannya diakui secara internasional. Timor Leste dianeksasi dengan kejam
pada masa Soeharto. Megawati juga merupakan penjaga warisan ibunya. Fatmawati
menjahit bendera pertama Indonesia sebagai negara merdeka. Sebagai Presiden
sendiri, terserah Megawati untuk memperbaiki bagian-bagian compang-camping dari
kepulauan 13.000 pulau yang masih terguncang dari pemerintahan Soeharto yang
membawa bencana politik dan ekonomi. Reformasi sukses tapi seperti People Power
di Filipina, belum selesai. Indonesia merupakan negara terbesar di Asia
Tenggara baik dari segi ukuran geografis maupun jumlah penduduk; itu adalah
negara terpadat keempat dalam kata; dan merupakan negara mayoritas Muslim
terbesar di dunia. Keberhasilan demokrasi Indonesia menjadi perhatian global.
Indonesia kini menjadi bukti hidup bahwa Islam dan demokrasi itu kompatibel.
Pada
akhir pemerintahan Soeharto, Thailand dan Filipina dianggap sebagai mercusuar
demokrasi di Asia Tenggara. Sekarang, meja telah diputar. Thailand berada di
bawah kediktatoran militer, dan Filipina diperintah oleh seorang presiden
populis yang terkenal karena pembunuhan di luar hukum dan pelanggaran hak asasi
manusia lainnya. Dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang kini memimpin
Indonesia, warisan Sukarno tidak hilang. "Sekali lagi, peran kader PDIP
penting," Jokowi menekankan, "dan bangsa selalu memandang mereka
untuk bekerja sama dengan rakyat dalam semangat gotong royong (solidaritas)...
untuk memastikan bahwa nilai-nilai Pancasila ditegakkan di masyarakat... untuk
meningkatkan pertumbuhan ekonomi, mengurangi kesenjangan, dan mengentaskan
kemiskinan" (Tempo. Co, 2018).
Seperti
yang dilaporkan Jeffrey Hutton (2018) dari South China Morning Post,
"Reformasi, gerakan people-power yang mencampakkan seorang diktator dan
memulai Indonesia di jalan menuju demokrasi 20 tahun yang lalu, diperbarui
minggu ini karena lebih dari 150 juta pemilih berpaling dari politik dinasti
yang memilih kompetensi daripada koneksi (sebagai) pemilih di tiga provinsi
terbesar di negara itu memilih reformis dengan rekam jejak yang terbukti atas
petahana yang kuat . Penyisiran untuk kandidat reformis menjadi pertanda baik
bagi peluang pemilihan ulang bagi reformis Widodo, yang latar belakangnya
sendiri tercermin dalam beberapa pemenang minggu ini."
Seperti
yang telah dibuktikan oleh Sukarno dan putrinya, kepresidenan seseorang tidak
berakhir dengan masa jabatannya, tetapi warisan dan niat baik yang ditinggalkan
akan memiliki dampak terbesar mereka dan akan lebih bermanfaat bagi generasi
yang akan datang. Oleh karena itu saya berharap presiden Negara Indonesia
selanjutnya adalah Ibu Puan Maharani sebagai anaknya yang memiliki cukup banyak
prestasi bagi bangsa ini. Dan semoga siapapun wanita di Indonesia harus dapat
kita jadikan sumber inspirasi. Terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Johannen, U. &
Gomez, J. 2001. Democratic Transitions in
Asia. Singapore: Select Books
Mcdonald, M. (1999, June
19). A reluctant would-be president . Retrieved from The Baltimore Sun: http://articles.baltimoresun.com/1999-06-19/news/9906190285_1_megawati-sukarnoputri-indonesia-politics.
Richburg, K. B. (1999,
July 09). Megawati Says She Has Mandate to Lead. Retrieved from The Washington
Post: https://www.washingtonpost.com/archive/politics/1999/07/09/megawati-says-she-has-mandate-to-lead/043e1867-6bf5-4c5c-bc3c-ee4f8ece1c9e/v.
Tempo.Co. (2018, January
11). Indonesia is lucky to have PDIP, says President Jokowi. Retrieved from
Tempo.Co: https://en.tempo.co/read/news/2018/01/11/055914736/Indonesia-is-lucky-to-have-PDIP-says-President-Jokowi.
The New York Times.
(2004, October 20). For Megawati, the legacy is mixed. Retrieved from The New
York Times: https://www.nytimes.com/2004/10/20/world/asia/for-megawati-the-legacy-is-mixed.html.