Ekstraksi Literatur:Ekstraksi dan Isolasi Flavonoid yang Ada Pada Ekstrak Metanol Daun Acanthospermum Hispidium Dc
Ekstraksi dan Isolasi Flavonoid yang Ada Pada Ekstrak Metanol Daun Acanthospermum Hispidium Dc
ilustrasi proses ekstraksi |
Bahan aktif fitokimia merupakan bahan aktif esensial yang tidak ditemukan dalam tubuh manusia. Zat fitokimia merupakan hasil metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan. Zat fitokimia memiliki aktivitas antioksidan, sebagai sistem pertahanan sel dalam melawan kerusakan oksidatif dan menurunkan perkembangan kanker.
Bahan aktif fitokimia merupakan bahan aktif esensial yang tidak ditemukan dalam tubuh manusia. Zat fitokimia merupakan hasil metabolit sekunder yang dihasilkan oleh tumbuhan. Zat fitokimia memiliki aktivitas antioksidan, sebagai sistem pertahanan sel dalam melawan kerusakan oksidatif dan menurunkan perkembangan kanker.
Daun Acanthospermum Hispidium Dc merupakan
salah satu contoh bagian tanaman yang mengandung banyak bahan aktif fitokimia.
Zat fitokimia antara lain flavonoid, tannin, glikosida, saponin, steroid dan
alkaloid. Pengisolasiaan bahan aktif yang dikandung oleh Acanthospermum Hispidium Dc dilakukan dengan beberapa metode
pemisahan.
Dalam ekstraksi dan isolasi flavonoid daun Acanthospermum Hispidium Dc dapat
ditemukan pada ekstrak metanol. Beberapa metode yang digunakan untuk
mengiosolasi diantaranya maserasi, destilasi, ekstraksi cair-cair, kromatografi
kolom, kromatografi lapis tipis dan uji screnning fitokimia.
A. Preparasi Sampel
Sampel yang digunakan pada penelitian
tersebut adalah daun Acanthospermum
hispidium DC. Tahap pertama dalam preparasi sampel adalah pencucian Acanthospermum hispidium DC yang
bertujuan untuk menghilangkan kotoran yang terdapat padasampel. Selanjutnya sampel
dikeringkan untuk menghilangkan air sisa pencucian, kemudian sampel dipotong
kecil-kecil untuk meningkatkan luas permukaan dan mempercepat proses
pengeringan serta memudahkan dalam proses penggilingan. Pengeringan dilakukan
untuk mengurangi kadar air dalam sampel, mencegah terjadinya reaksi enzimatis
dan mencegah tumbuhnya jamur sehingga dapat disimpan serta agar komposisi
komponen kimia yang terkandung dalam sampel tidak mengalami perubahan (Halimah,
2010).
Selanjutnya dilakukan penggilingan
untuk mendapat sampel dalam bentuk serbuk, sehingga proses ekstraksi menjadi
lebih efektif,karena dapat meningkatkan
kesempatan kontak antara cairan penyari dengan simplisia. Bobot serbuk yang
digunakan dalam penelitian ini sebanyak 1000 gram.
B. Metode Pemisahan
Dalam pemisahan senyawa dilakukan beberapa
metode pemisahan yaitu sebagai berikut :
1.
Maserasi
Proses penyarian yang dipilih dalam
penelitian ini adalah ekstraksi padat cair atau maserasi. Maserasi dipilih karena
metode ini merupakan metode yang sederhana yang dilakukan dengan merendam
serbuk sampel dalam suatu pelarut yang sesuai dengan jangka waktu tertentu.
Selain itu, metode maserasi merupakan metode dingin, karena tidak ada pemanasan
dalam proses penyarian, sehingga kemungkinan terjadinya dekomposisi komponen
kimia yang dikandung oleh sampel dapat dihindari. Dalam maserasi pelarutan zat
aktif didasarkan atas sifat kelarutannya dalam suatu pelarut. Pelarut akan
masuk ke dalam sel melewati dinding sel, sehingga isi sel akan larut dalam
pelarut karena adanya perbedaan konsentrasi larutan di dalam dan di luar sel. Selanjutnya akan terjadi
proses difusi larutan dari dalam sel menuju keluar sel sehingga dengan
mekanisme tersebut komponen kimia dapat tertarik keluar sel.
Pelarut yang digunakan untuk menyari simplisia
adalah metanol. Metanol merupakan pelarut yang universal karena dapat memisahkan senyawa yang bersifat
polar sampai non polar, metanol merupakan pelarut
yang dapat menarik komponen-komponen yang terkandung dalam simplisia, selain
itu metanol bersifat mudah menguap sehingga akan mudah dipisahkan dari filtrat.
Maserasi dilakukan selama 2 hari
dimana pelarutdiganti setiap 24 jam,
dengan tujuan untuk menjaga kondisi pelarut segar, sehingga dalam melakukan
proses penyarian secara efektif. Dalam jangka waktu tersebut diprediksi semua
komponen akan terekstrasi. Setelah itu dilakukan penyaringan dengan menggunakan
kertas saring. Penyaringan bertujuan untuk menghilangkan pengotor- pengotor
yang terdapat dalam sampel, baik berupa zat pengotor maupun pewarna yang
terkontaminan.
2.
Destilasi
Tahap
selanjutnya adalah destilasi. Destilasi dilakukan untuk memurnikan filtrat dari
sisa pelarut yang digunakan ketika maserasi. Destilasi merupakan suatu metode
pemisahan yang didasarkan atas kecepatan menguap dengan perbedaan titik didih,
dimana senyawa yang memiliki titik didih lebih rendah akanlebih mudah menguap. Kemudian
uap akan terkondensasi membentuk cairan dengan bantuan kondensor (pendingin).
Pada penelitian ini, penulis menafsirkan bahwa dalam metode destilasi digunakan
untuk menguapkan pelarut yang terdapat didalam ekstrak yaitu metanol.
Metanol
merupakan pelarut organik yang memiliki titik didih 64,50 dan 65,50(Depkes
RI, 1979). Sedangkan dalam simplisia Acanthospermum
hispidium DC terkandung zat fitokimia yang memiliki titik didih lebih
tinggi dibandingkan metanol. Metanol memiliki titik didih yang lebih rendah
akan mengalami penguapan lebih dahulu, sehingga destilat yang tertampung pada
labu penampung merupakan metanol, sedangkan komponen kimia akan tetap berada
pada labu destilasi.
Dari metode destilasi ini akan diperoleh hasil dengan konsentrasi yang lebih pekat dan lebih murni dari zat pengotor. Bobot ekstrak yang diperoleh dalam penelitian ini adalah 98,3 gram.
3. Ekstraksi Cair- cair
Prosedur
ekstraksi cair-cair melibatkan ekstraksi analit dari fase air ke dalam pelarut
organik yang bersifat nonpolar atau agak polar. Analit-analit yang mudah
terekstraksi dalam pelarut organik adalah molekul-molekul netral yang berikatan
secara kovalen dengan substituen yang bersifat nonpolar atau agak polar.
Sementara itu, senyawa-senyawa polar dan juga senyawa-senyawa yang mudah
mengalami ionisasi akan tertahan dalam fase air (Gandjar dan Rohman, 2009).
Proses
ekstraksi yang dilakukan terhadap ekstrak uji adalah ekstraksi cair-cair
ekstrak dengan n-heksana, kloroform, etil asetat, n-butanol dan air. Penggunaan
pelarut tersebut diurut berdasarkan tingkat kepolarannya. Pada saat ekstraksi
cair-cair, ekstrak hasil destilasi ditambahakan dengan masing-masing pelarut
kemudian dilakukan penggojongan. Penggojogan bertujuan agar komponen kimia
terdistribusi ke dalam dua fase yang tidak saling campur. Komponen kimia akan
terdistribusi pada masing-masing fase yang didasarkan atas kemampuan distribusi
komponen tersebut yang dipengaruhi oleh tingkat kepolaran komponen.
Setelah dilakukan pemurnian dengan
ekstraksi cair-cair dilanjutkan dengan tahap uji screening fitokimia untuk
mengetahui senyawa apa saja yang terdapat didalam berbagai ekstrak pelarut.
C. Uji Screening
Uji
screening dilakukan untuk menguji kandungan yang terdapat pada ekstrak kental
dan hasil ekstraksi cair-cair. Dengan menggunakan uji screnning akan dapat
diketahui ada tidaknya senyawa fitokimia pada masing-masing pelarut ekstrak
yang diperoleh. Uji screnning tersebut adalah sebagai berikut :
1.
Uji
Flavonoid
Pada uji flavonoid peneliti menggunakan
pereaksi NaOH. 1 mL NaOH 10% ditambahkan dengan 3 mL ekstrak terbentuknya warna
kuning mengindikasikan bahwa ekstraks tersebut mengandung flavonoid.
Hal ini terjadi karena adanya reaksi
antara flavonoid dengan pereaksi NaOH yang membentuk garam dan membentuk
struktur kinoid pada cincin B yang akan membuat ikatan rangkap terkonjugasi
menjadi lebih panjang sehingga akan meningkatkan intensitas warnanya (Robinson,
1995).
2.
Uji
Tanin
Pada pengujian adanya tannin peneliti
menambahkan 1 mL KOH 10% ke dalam ekstrak terbentuknya endapan putih menandakan
adanya tannin.
Berdasarkan hasil yang diperoleh
dalam penelitian, senyawa tannin tidak ditemukan dalam semua ekstrak yang
diuji, hal ini dikarenakan dengan penambahan 1 mL KOH 10% tidak terbentuknya
endapan putih.
3.
Uji
Glikosida
Pada pengujian glikosida 1 mL ekstrak
dalam tabung reaksi ditambahkan 10 mL H2SO4 50%, campuran
dipanaskan diatas air mendidih selama 15 menit. Kemudian ditambahkan 10 mL
larutan fehling, endapan merah mengindikasikan adanya glukosa.
Proses hidrolisis terjadi karena adanya asam mineral (H2SO4).
Hidrolisis glikosida akan menghasilkan komponen gula (glikon) dan komponen non
gula (aglikon) (Sumardjo, 2009). Selanjutnya diuji dengan pereaksi fehling,dan akan
terbentuk endapan merah bata. Endapan ini terjadi karena hasil hidrolisis yaitu
glikon (komponen gula) akan mereduksi Cu2+ menjadi ion Cu+
yang dalam suasana basa akan diendapkan sebagai Cu2O.
4.
Uji
Saponin
Pada uji saponin dilakukan uji emulsi, dimana 5 tetes olive oil (minyak zaitun) ditambahkan pada 3 mL ekstrak kemudian campuran dikocok, terbentuknya emulsi yang stabil menunjukkan adanya saponin dalam ekstrak uji. Emulsi yang terbentuk pada uji positif saponin, terjadi karena adanya interaksi dari busa yang khas dari saponin dengan minyak zaitun saat dikocok kuat.
5.
Uji
Steroid
Pada uji salkoswki,
apabila sterol dengan konfigurasi tidak jenuh di dalam molekulnya direaksikan
dengan asam kuat dalam kondisi bebas air, maka akan memberikan reaksi warna.
Peneliti mengunakan uji salkowski,
dimana 5 tetes H2SO4 pekat ditambahkan dengan 1 mL
ekstrak, terbentuknya warna merah mengindikasikan adanya steroid. Penambahan H2SO4 bertujuan untuk memutuskan ikatan gula
pada senyawa. Sehingga akan terbentuk cincin yang berwarna merah, selain itu
gugus sulfat akan menggantikan gugus OH sehingga terbentuk kompleks warna
merah.
6.
Uji
Alkaloid
Pada pengujian adanya alkaloid 1
mL ekstrak ditambah 2 tetes reagen mayer, endapan berwarna cream atau putih
mengindikasikan ekstrak tersebut mengandung alkaloid.
Hasil positif alkaloid pada uji Mayer ditandai dengan terbentuknya
endapan putih. Diperkirakan endapan tersebut merupakan kompleks
kalium-alkaloid. Alkaloid mengandung
atom nitrogen yang mempunyai pasangan elektron bebas sehingga dapat digunakan
untuk membentuk ikatan kovalen koordinasi dengan ion logam. Pada uji
alkaloid dengan pereaksi Mayer, diperkirakan nitrogen pada alkaloid akan
bereaksi dengan ion logam K+ dari kalium tetraiodomerkurat (II)
membentuk kompleks kalium-alkaloid yang mengendap (Dayanti dan Suyanto, 2012).
D. Identifikasi Kromatografi
1. Kromatografi Kolom
Setelah dilakukan ekstraksi cair- cair
dilakukan kromatografi kolom. Kromatografi kolom bertujuan untuk purifikasi dan
isolasi komponen dari suatu campurannya (Roy, 1991).
Prinsip pemisahan kromatografi kolom
didasarkan pada afinitas kepolaran analit dengan fase diam, sedangkan fase
gerak selalu memiliki kepolaran yang berbeda dengan fase diam (Yazid, 2005)
Pada metode ini digunakan fase diam
bersifat polar yaitu silika gel dan fase gerak bersifat non polar yaitu
n-heksana. Hal pertama yang dilakukan yaitu menyiapkan kolom yang akan digunakan
untuk pemisahan senyawa tersebut. Kemudian silika gel ditimbang dan dilarutkan
dengan pelarut n-heksana sampai
terbentuk lumpuran atau bubur. Kemudian lumpuran silika tersebut dimasukkan
kedalam tabung dan dibuat kolom yang kompak dan terhindar dari gelembung udara
yang dapat mengganggu proses pemisahan senyawa. Selanjutnya sampel dimasukkan
dan dilakukan penambahan fase gerak secara berkala untuk menjaga kondisi kolom
agar tidak kering. Penambahan fase gerak juga bertujuan agar selama perjalanan
turun zat terlarut akan mengalami proses adsorpsi dan partisi berulang-ulang.
Laju penurunan berbeda untuk masing-masing zat terlarut dan bergantung pada
koefisien partisi masing-masing zat terlarut (Sastrohamidjojo, 2005). Fraksi -fraksi
hasil dari pemisahan tersebut ditampung di dalam vial. Dalam kromatografi kolom
dilakukan 5 kali uji, yaitu uji terhadap ekstrak n-heksana, kloroform, etil
asetat, n-butanol dan air.
2. Kromatografi Lapis Tipis
(KLT)
Metode
selanjutnya yang dilakukan adalah kromatografi lapis tipis. Kromatografi lapis
tipis digunakan untuk mengisolasi dan memurnika senyawa.
Prinsip pemisahkan sampel didasarkan pada perbedaan
kepolaran antara sampel dengan pelarut yang
digunakan. Teknik ini biasanya menggunakan fase diam dari
bentuk plat silika dan fase geraknya disesuaikan dengan jenis
sampel yang ingin dipisahkan. Larutan atau campuran larutan yang digunakan dinamakan eluen.Semakin dekat kepolaran
antara sampel dengan eluen maka sampel akan semakin terbawa oleh fase gerak
tersebut (SkoogDA, dkk., 1996).
KLT
diawali dengan penyiapan fase diam, dimana sebanyak 50 gr bubuk silika gel
dimasukkan ke dalam gelas beaker dan ditambahkan dengan 100 ml aquades.
Penambahan aquades bertujuan untuk membentuk campuran bubur silika gel.
Kemudian bubur dilika diaduk hingga larut sempurna dan dikocok. Pengocokan
dilakukan untuk memperoleh campuran yang homogen. Campuran yang terbentuk
dituangkan di atas plat kaca dan dibiarkan hingga terbentuk padatan. Plat kaca
berfungsi sebagai penunjang silika gel. Plat kaca yang telah dilapisi dengan
silika gel dipanaskan di dalam oven selama 1-2 jam pada suhu 110o C,
sehingga diperoleh plat yang padat dan seragam.
Selain itu pemanasan pada suhu 1100C bertujuan untuk
mengaktifasi sisi aktif plat. Silika gel (SiOH) memiliki sisi aktif –OH yang
menyebabkan sifat polar dari silika.
Setelah
pembuatan plat selesai, sampet ditotolkan pada plat menggunakan pipa
kapiler. Penotolan dengan menggunakan
pipa kapiler bertujuan agar diperoleh totolan yang kecil. Semakin kecil
totolan, hasil maka komponen akan semakin mudah dielusi, sedangkan totolan yang
terlalu besar dapat menyebabkan tailing.
Fraksi yang dipisahkan menggunakan metode KLT adalah fraksi yang menunjukan
hasil positif setelah dilakukan uji terhadap kelas flavonoid, yaitu fraksi
kloroform dan fraksi etil asetat.
Fase
gerak yang digunakan dalam KLT adalah n-heksana, pemilihan n-heksana didasarkan
atas sifat kepolarannya. Karena n-heksana bersifat lebih nonpolar, jika
dibandingkan dengan fraksi yang diuji yaitu kloroform dan etil asetat.
Setelah fraksi ditotolkan, selanjutnya plat di elusi didalam bejana, dan akan terjadi proses pengembangan. Pengembangan terjadi akibat eluen merambat naik pada fase diam, kemudian plat dikeringkan. Pengeringan plat bertujuan untuk menghilangkan sisa pelarut yang masih terdapat pada plat. Kemudian ditambahkan penampak bercak berupa uap iodin, sehingga akan menampakkan bercak berwarna kuning gelap. Penambahan penampak bercak ini bertujuan agar spot pada komponen dapat teramati, sehingga nilai Rf yang dihasilkan oleh spot pada tiap komponen dapat dihitung.
E. Identifikasi Flavonoid
Setelah dilakukan KLT kemudian dilakukan identifikasi dengan
menggunakan Infra Red dan UV. Infra Red digunakan untuk menganalisis jenis
flavonoid yang terkandung dalam sampel. Pada UV digunakan untuk membuktikan
adanya flavonoid pada 2 komponen yang ditotolkan menggunakan kromatografi lapis
tipis.
Analisis infra merah (IM) dilakukan untuk menentukan struktur komponen, sementara UV analisis digunakan untuk pita serapan yang dapat menentukan karakteristik dari senyawa yang terisolasi (Tim Penyusun, 2007).
PEMBAHASAN
Satu kilogram bubuk sampel Acanthospermum hispidium DC direndam
dengan metanol selama dua hari dengan menggunakan metode maserasi. Tahap selanjutnya adalah destilasi. Destilasi
dilakukan untuk memurnikan filtrat dari sisa pelarut yang digunakan ketika
maserasi. Sehingga diperoleh ekstrak sebanyak 98.3 gram .
Setelah dilakukan destilasi kemudian
dilanjutkan melakukan ekstraksi cair-cair dengan menggunakan beberapa pelarut
yaitu n-heksana, kloroform, etil asetat, butanol dan air. Setlah dilakukan penggojogan
komponen kimia terdistribusi ke
dalam dua fase yang tidak saling campur. Komponen kimia akan terdistribusi pada
masing-masing fase yang didasarkan atas kemampuan distribusi komponen tersebut
yang dipengaruhi oleh tingkat kepolaran komponen.
Ekstraksi
cair- cair akan menghasilkan ekstrak n-heksana, kloroform, etil asetat,
n-butanol dan air. Untuk memeastikan ada tidaknya kehadiran komponen kimia pada
masing-masing ekstrak pelarut dilakukan pengujian screnning fitokimia.
Uji screnning fitokimia dilakukan untuk menguji adanya bahan fitokimia yang terkandung didalam ekstrak metanol, n-heksana, kloroform, etil asetat, n-butanol dan air.
Pada pengujian fitokimia terhadap ekstrak
kental, diperoleh hasil positif adanya steroid dan flavonoid yang ditemukan
dalam ekstrak metanol, trichloromethane, etilasetat dan ekstrak n-butanol sedangkan
uji terhadap saponin, tanin, alkaloid dan glikosida menunjukkan hasil negative
pada semua ekstrak uji.
Dalam kromatografi kolom dilakukan pemurniaan hasil ekstrasi cair- cair sehingga akan diperoleh hasil identifikasi yang baik pada kromatografi lapis tipis. Dalam kromatografi kolom terbentuk beberapa fraksi yang memiliki perbedaan warna antara lain fraksi N-heksana (hitam), fraksi kloroform (hijau), fraksi etilasetat (kuning), fraksi n-butanol (emas), dan fraksi air (brick red). Fraksi-fraksi yang diperoleh pada kromatografi kolom kemudian dilakukan ujiscreening fitokimia. Dimana hanya dilakukan pengujian terhadap flavonoid dan steroid, karena hanya komponen ini yang terdeteksi pada uji sebelumnya. Hasil yang diperoleh sebagai berikut :
Berdasarkan hasil percobaan diatas, dalam fraksi kloroform, etil asetat, dan n-butanol, didapat hasil positif adanya senyawa steroid dan flavonoid. Sedangkan pada fraksi n-heksana menunjukkan hasil negative terhadap steroid dan flavonoid. Pada fraksi air, hanya ditemukan kandungan senyawa flavonoid.
Berdasarkan hasil percobaan terhadap kelas
flavonoid, didapat hasil positif setelah penambahan NaOH cair pada fraksi
kloroform dan etil asetat. Sedangkan pada fraksi n-butanol menunjukan hasil
yang negatif.
Tahap selanjutnya, digunakan metode pemisahan menggunakan Kromatografi Lapis Tipis pada hasil positif terhadap uji kelas flavonoid. Kromatografi lapis tipis bertujuan untuk mengisolasi dan memurnikan senyawa. Fraksi yang digunakan dalam penotolan adalah fraksi kloroform dan etilasetat.Hasil tersebut sebagai berikut :
Berdasarkan hasil percobaan diatas,
diperoleh satu spot pada setiap fraksi yang diujikan. Dimana pada komponen 1
(kloroform) menghasilkan nilai Rf sebesar 0,61 dan pada komponen 2 (etil
asetat) mengahasilkan Rf sebesar 0, 48. Dan persentase berat pada komponen 1
diperoleh sebanyak 0,15% dan komponen 2 diperoleh sebanyak 0,08%. Eluen yang
digunakan pada metode ini adalah n-hexana, sehingga komponen 1 (kloroform) akan
memiliki harga Rf lebih besar dari pada komponen 2 (etil asetat), hal ini dikarenakan
kloroform bersifat lebih nonpolar daripada etil asetat, sehingga komponen 1
(klorofom) akan lebih mudah terbawa dalam fase geraknya jika dibandingkan
dengan komponen 2.
Selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan Infra Red dan UV .Pada analisis Infra Red diperoleh hasil sebagai berikut :
Analisis dengan UV menunjukkan pita
serapan yang spesifik pada komponen 1 dan 2. Hasil yang diperoleh sebagai
berikut :
Pada komponen 1 dan komponen 2
teridentifikasi adanya flavonoid, namun karena data spektroskopi yang tidak
lengkap sehingga struktur tidak dapat dijelaskan.
Kesimpulanya adalah daun Acanthospermum Hispidium Dcmengandung
steroid dan flavonoid, Komponen tersebut dapat digunakan sebagai anti
tuberkolosis dan sebagai antidot dalam keracunan.
Sumber:
Abe Rita Temidayo,Department of Chemistry, University of Ibadan, Nigeria (Extraction and Isolation of Flavonoids Present in the Methanolic Extract of Leaves of Acanthospermum Hispidium Dc)